Jumat, 28 Maret 2014

Cerpen "Pertempuran Laut Aru"


Pertempuran Laut Aru

Markas Besar Angkatan Laut awal Januari 1962. Wajah Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Raden Eddy Martadinata nampak agak kurang cerah, ketika pulang dari rapat Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang baru saja diikutinya di Istana Negara. Pada siang itu, selesai menghadiri rapat di Istana, Martadinata langsung mengumpulkan seluruh anggota Staf Operasi MBAL. Dengan kalimat jernih, kepada semua stafnya, dia mengungkapkan hasil rapat di Istana. "Presiden atau Panglima Tertinggi baru saja  memerintahkan untuk segera dilakukan infiltrasi, mendaratkan pasukan untuk masuk ke wilayah Irian Barat." Menurut Martadinata, sambil menunggu perintah Bung Karno, infiltrasi tersebut akan dilakukan oleh satu kompi pasukan angkatan darat, terdiri dari para putera daerah asal Irian. Pasukan yang bakal dikategorikan sebagai sukarelawan termasuk sebelumnya sudah melakukan latihan militer dengan cukup intensif. Sesuai perintah Panglima Tertinggi, infiltrasi akan dilakukan melalui laut, tanggal 15 Januari pukul 24.00, dengan sasaran wilayah di arah Selatan Kaimana, di sekitar Vlakke Hoek. Dengan cepat melirik Sudomo, Martadinata langsung menambahkan, "Siapkan material dan personil untuk menunjang Operasi tersebut", Letnan Kolonel Sudomo, Kepala Direktorat Operasi dan Latihan MBAL, segara menjawab dengan singkat, "Siap Pak, kami laksanakan."

Pada saat itu Sudomo merasa yakin, rapat yang baru saja diikuti oleh Men/Pangal, merupakan salah satu bentuk penjabaran dalam pelaksanaan Trikora. Terutama, sesudah dia juga menyadari, pada tanggal 2 Januari 1962, lewat Surat keputusan Presiden No. I tahun 1962, Bung Karno telah menunjuk Mayor Jenderal Soeharto untuk memegang Jabatan  Panglima Komando Mandala.  Sesudah menerima perintah dari Men/Pangal untuk mempersiapkan perintah operasi, Letkol Sudomo kemudian menyelenggarakan rapat staf. Dalam rapat tersebut dibahas berbagai macam alternatif. Menurut kajian, kapal selam merupakan sarana angkutan infiltran yang paling ideal dan tidak banyak menghadapi resiko. Bagaimanapun juga, Sudomo segara menyusun gugus tugas dengan mengandalkan dukungan dari keempat KCT eks Jerman Barat tersebut. Masing-masing RI Matjan Tutul dengan komandan Kapten Wiranto, RI Matjan Kumbang dipimpin Kapten Sidhoparomo, dan Rl Harimau dengan komandan Kapten Samuel Muda dan satu lagi RI Singa. Satuan ini diberi nama Satuan Tugas Chusus IX (STC-9). Tetapi sesudah satuan tugas ini terbentuk, langsung muncul persoalan baru, siapa yang harus ditunjuk menjadi komandan "Hari itu pula saya kumpulkan semua perwira dengan pangkat Letnan kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan MBAL. Pokoknya, semua perwira yang pangkatnya lebih tinggi dari para komandan KCT. Saya beberkan rencana operasi, mengangkut pasukan untuk di daratkan di Irian dan langsung harus bisa kembali secepatnya ke Jakarta. Saya tawarkan posisi tersebut, "Siapa yang secara sukarela bersedia menjabat komandan satgas?," beber Sudomo. Menurut Sudomo, tak tampak satu pun perwira di ruangan yang berani angkat tangan. Ia menarik kesimpulan, tidak ada perwira yang punya keberanian untuk memimpin satgas tersebut. Secara pribadi ia merasa operasi laut semacam itu sangat berbahaya dan sulit dipertanggung jawabkan, karena tidak memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan layaknya suatu operasi militer. Merancang suatu operasi militer yang sama sekali tidak ditunjang dengan persyaratan minimal. Bagaimanapun juga, perintah adalah perintah, apalagi kali ini datangnya dari Panglima Tertinggi. Rapat segera  dibubarkan dan Sudomo langsung melaporkan hasilnya kepada Deputi I Angkatan Laut, Komodor Yosaphat Soedarso, rekan satu kelas semasa mengikuti pendidikan Sarangan.

”Lapor, karena tidak ada perwira yang berminat untuk menjabat Komandan Satgas KCT, mohon izin, saya sendiri memimpin satgas ini," kata Sudumo tegar. Jawaban langsung diberikan Yos Soedarso, "Kalau kau berangkat, saya juga akan ikut berangkat...". Terus terang mendengar jawaban spontan semacam itu, hati Sudomo justru semakin bingung. Pada waktu itu, Yos Soedarso adalah pejabat penting.  Kemungkinan berhasil dalam perhitungan Sudomo memang masih terbuka. Tetapi, tingkat kerawanannya sangat tinggi. Sehingga misalnya sampai terjadi sesuatu kepada orang nomor dua dalam jajaranan ALRI tersebut, pasti akan menyeret dampak politis teramat besar. Mungkin tak bakal sebanding dengan keterlibatan seorang Deputi Operasi. Maka dengan nada halus Sudomo berusaha mencegah agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut dalam pelaksanaan operasi rahasia ini. Tetapi usahanya sia-sia. Yos masih tetap saja memaksa. Terutama setelah dia sempat mendengar, Kolonel Moersjid, Asisten Operasi KSAD, juga bakal ikut. Dalam operasi infiltrasi ini, Menurut Moersjid, rangkaian infiltrasi yang dikelola Angkatan Darat dengan menyelundupkan pasukan ke daerah musuh, sudah beberapa kali dilakukan. Perwira penanggung jawab program infiltrasi berada pada Kolonel Magenda, asisten intelijen KSAD, dengan perwira pelaksana Letnan Kolonel Roejito.

Tanggal 9 Januari 1962 malam, dengan berlindung di balik kegelapan, satu demi satu empat MTB tersebut segera menyelinap keluar, meninggalkan pangkalannya di Tanjung Priok, Jakarta. Dengan gagah, Sudomo yang ketika itu baru saja dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel, selaku Komandan STC IX, berdiri di anjungan RI Harimau, Pikirannya jauh melayang ke depan, membayangkan 2.000 mil laut rute pelayaran yang harus  ditempuhnya. Ke empat kapal STC IX ini sejak awal memang dirancang untuk bergerak secara rahasia. Mereka menangani tugas infiltrasi, dengan demikian semakin banyak orang tak tahu, semakin menguntungkan bagi misi yang sedang mereka laksanakan. Sementara itu, satu kompi pasukan putra daerah yang sudah dilatih, diberangkatkan pada tanggal 14 Januari dengan kapal terbang Herkules AURI, langsung dari Landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ikut serta dalam pesawat yang sama Komodor Yos Soedarso, Kolonel Moersjid dan Letnan Kolonel Roedjito.  Selama pelayaran menuju  daerah sasaran, ke empat MTB berada pada kondisi Total Black Out dan Radio Silence, mereka sama sekali tidak boleh menggunakan hubungan radio, di samping itu seluruh lampu kapal dipadamkan serta sejauh mungkin menghindari pertemuan dengan kapal-kapal niaga. Pelayaran SCT IX dengan gerak melambung, menyusuri lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya membelok ke arah timur laut ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi perairan Maluku, Sudomo juga  menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV) antara Jakarta sampai ke Maluku. Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi tambahan bahan bakar. Selama pelayaran, musibah menimpa dua kapal, RI Matjan Kumbang. mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga. Sementara itu RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Dengan demikian akhirnya, meskipun tidak bersamaan, hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir, merapat ke Rl Multatuli untuk menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran. "Kami mendarat dengari cara nekat" kata Kolonel Moersjid. Ia merasa para penerbang Herkules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam situasi serba darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di Jakarta, kami telah menerima penjelasan, landasan darurat di Pulau Langgur sudah selesai diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Herkules dengan nyaman. Tetapi setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting, ketika keluar dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi manusia.".

Menjelang sore hari, tanggal 15 Januari, di atas RI Multatuli, Sudomo Komandan STC IX, memberikan briefing tentang rencana operasi. Hadir lengkap ketiga komandan KCT. Kecuali itu juga ikut briefing Deputi Operasi KSAL Komodor Yos Soedarso, Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid dan Letnan Kolonel Roedjito. Ketika menguraikan rencana operasi, Sudomo menatapkan mereka akan berangkat meninggalkan RV ke tiga ini tepat pada pukul 24.00 tengah malam. Sudomo masih tetap berupaya agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Irian dengan memakai perahu karet. Atas pertimbangan tersebut, maka Sudomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Sudomo tahu, keinginan Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi Irian. “Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Irian. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk di serahkan kepada Bung Karno."

Dengan haluan 000 derajat dan formasi 18, ketiga MTB tersebut dengan serentak meninggalkan RI Multatuli. Setiap kapal membawa 30 anak buah kapal dan sekitar 40 infiltran, putra daerah yang akan didaratkan di Irian untuk memulai perang gerilya. Para infiltran beristirahat di geladak, di sela-sela perahu karet. Inilah alasan utama mengapa Sudomo lebih dulu menerbangkan mereka ke dekat perbatasan dengan pesawat udara, tidak ikut berlayar dengan MTB. Karena secara teknis memang tidak mungkin, kapal-kapal torpedo tersebut mengangkut pasukan sebanyak itu, berlayar sejauh 2.000 mil laut. Sudomo menengok ke belakang. Nampak matahari mulai tenggelam di batas cakrawala, sehingga pemandangan sekeliling semakin lama semakin suram. Dari geladak RI Multatuli, yang terlihat hanya bayangan tiga kapal melaju dengan cepat, seakan-akan timbul tenggelam di antara gelombang laut Arafuru. "Laut sekeliling kami hitam pekat, malam itu bulan tak muncul di langit, mata kami semua memandang tajam ke arah radar," kata Sidhoparomo, Komandan RI Matjan Kumbang. Sewaktu Jam menunjukkan pukul 19.30, Sudomo lewat radio walkytalky mengarahkan haluan konvoi untuk menuju 059 derajat. Inilah arah paling singkat untuk mencapai Vlakke Hoek, daerah tujuan yang terletak di pantai sebelah timur Sungai. Iring-iringan ke tiga MTB di Laut Arafuru ini agaknya tidak merasa, bahwa sejak pukul 20.25, mereka sebenarnya telah terdeteksi dari udara oleh Letnan H. Muckar Danoe, yang sedang berpatroli dengan pesawat Neptune. "Jarak pada saat itu lebih kurang sekitar 60 mil dari Vlakke Hoek," kata Mockar Danoe, keturunan Indonesia yang menjadi warga negara Belanda dan masuk dalam dinas militer Koninklijke Marine (KM), Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dengan tangkas mereka langsung mengirim tanda bahaya dini kepada Hr. Ms. Evertsen, Hr. Ms. Kontenaer dan Hr. Ms. Utrecht yang juga sedang berpatroli di perairan setempat. Pukul 21.45 pesawat Neptune tersebut mulai mengambil posisi siap menyerang. Untuk menerangi sasaran, mereka lebih dulu menembakkan flare (roket suar). Sayang sekali flare tesebut tidak menyala, sehingga roket juga tidak jadi di tembakkan. Pada saat itulah RI Matjan Kumbang sebagai kapal jaga melaporkan kepada Rl Harimau yang berada paling depan, mengenai adanya sebuah pesawat terbang yang melintas di atas konvoi. "Saya segera mengambil teropong, saya telusuri cakrawala sesuai informasi dari Matjan Kumbang. Memang benar mulai terlihat siluet kapal perang Belanda di arah lambung kanan dan satu lagi di lambung kiri, Dengan gampang bisa kita kenali jenisnya, yang di lambung kanan adalah sebuah fregat dan sebuah kapal perusak (destroyer) kelas Holland, melihat cerobong muka yang bagian atasnya ada lekuk ke belakang. Dan di lambung kiri ada satu fregat lagi," kata Sudomo.

Terlihatnya tiga kapal musuh tersebut langsung diinformasikannya kepada Moersjid, yang berada di RI Harimau. Mereka kemudian tahu, kapal tersebut masing-masing adalah Hr. Ms. Evertsen,  Hr. Ms. Kontenaer dan kapal ketiga Hr. Ms. Utrecht, “Saya berkesimpulan, keberadaan kapal kita telah diketahui oleh musuh. Misi ini tak bisa dilanjutkan, harus dibatalkan. Tak pernah ada perintah operasi untuk menyerang Belanda, apalagi karena kita tidak punya senjata utama torpedo". Pukul 21.50 Sudomo memerintahkan ketiga MTB putar haluan menuju arah 239 derajat dan menghindar secepat-cepatnya, untuk bisa kembali ke pangkalan. Nyaris secara serentak, ketiga kapal tersebut cikar kanan, menuju haluan 239 derajat. RI Harimau dengan kecepatan tinggi melampaui lambung kiri Matjan Kumbang, merubah haluan ke 239 derajat. Tetapi sementara itu, dengan mengejutkan, Matjan Tutul Justru memakai kekuatan penuh, lewat sebelah  kanan Matjan Kumbang dan malahan langsung mengambil haluan 329 derajat. Haluan ini justru mengarah ke posisi Hr. Ms. Evertsen. "Saya juga segera memerintahkan, kapal untuk langsung cikar kanan, sesuai perintah komandan STC IX, tetapi mendadak kemudi macet. Akibatnya kapal tak bisa ke depan, tetapi langsung berputar membuat lingkaran besar. Dalam situasi kritis ini, saya sangat terkejut, ketika justru disalip oleh Matjan Tutul”, dengan cepat kata Sidhoparomo. Serangan yang kedua oleh Neptune di ulang pada pukul 22.02. Tembakan peluru suar menerangi seluruh cakrawala, dilanjutkan dengan tembakan roket mengarah ke formasi STC IX, tetapi tidak ada yang mengenai sasaran. Tiga menit kemudian, begitu melihat bayangan pesawat terbang di atas formasi "Saya langsung perintah tembakan ke sasaran" kata Sidhopramono. Kedua meriam penangkis serangan udara 40 mm dan kedua senapan mesin 12,7 mm menyalak serentak.
Pada pukul 22.07 Hr. Ms. Evertsen pertama kali memuntahkan peluru Meriam 12 cm kepada Matjan Tutul karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan 329 derajat yang mengarah kepadanya. Pukul 22.08 terdengar lewat radio, perintah legendaris dari Komodor Yos Soedarso, "KOBARKAN SEMANGAT PERTEMPURAN". Serentak dengan itu, tembakan dari kedua senjata 40 mm Matjan Tutul di arahkan langsung ke Hr. Ms. Evertsen. Tembakan yang memang sia-sia, karena letak sasaran berada jauh di luar jangkauan. Nampaknya pada saat itu, Yos Soedarso sudah mengambil alih pimpinan Matjan Tutul dari tangan Kapten Wiratno. Pukul 22.10, sebuah tembakan Evertsen tepat mengenai buritan Matjan Tutul. Terjadi kebakaran kecil yang segera berhasil dipadamkan. Saat itu Matjan Tutul berganti haluan ke kiri, mengarah 239 derajat. Melihat manuver tersebut, Evertsen juga putar haluan ke kanan, ke haluan sejajar 239 derajat sambil terus menghujani Matjan Tutul dengan tembakan Meriam 12 cm. Pukul 22.30, tembakan tepat kedua dari Evertsen mengenai bagian tengah Matjan Tutul. Kapal terlihat meledak, penumpangnya berhamburan di antara kobaran api yang sangat besar. Bunga api besar menerangi malam di Laut Aru. Perlahan RI Matjan Tutul tenggelam membawa Komodor Yos Sudarso, Kapten Memet (Ajudan), Kapten Kapal Wiratno dan 25 prajurit TNI AD. Sepuluh menit kemudian, Evertsen melanjutkan pengejaran dan terus menghujani RI Harimau dengan siraman tembakan selama satu jam.

0 comments:

Posting Komentar