Rabu, 19 Februari 2014

contoh cerpen


“Wisata Air”

“Allahuakbar allahuakbar allahuakbar..lailahailallahuallahuakbar..allahuakbar walillailham” suara takbir berkumandang dengan meriahnya untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri 1434 H besok pagi. Suara takbir terdengar dari masjid-masjid di Kota Yogyakarta. Lebaran tahun 2013 ini aku dan keluargaku merayakannya di Kota Yogyakarta. Kami menginap di Hotel Andika Putra, Wirobrajan, Yogyakarta. “Masih ada karnaval malam takbir ya di Jogja?” tanyaku pada kakak sepupuku yaitu Mbak Dita. “Ya iyalah dek kan itu setiap tahun waktu malam takbir ” jawabnya dengan nada agak tinggi. “Oh gitu ya. Wah! Ada sepeda gowes. Aaaaa!! Pingin Mbak Dit” dengan suara yang mengagetkan. “Aaah! Iya dek sama, aku juga”. “Iya aku juga mau” sahut kakak sepupuku, Mbak Nada. “Ngajak Mbak Eki ah!” ucapku. Lalu aku berlari menuju Mbak Eki, kakak sepupuku. “Mbak, ayok naik sepeda gowes!” ajakku padannya. “Ayok ae, nyewa di mana sih emangnya?” tanyanya padaku. “Gatau mbak” jawabku sambil menaikkan pundak, lalu kami berjalan ke depan hotel dekat jalan raya.

Orangtuaku, masku, Mbak Dita, Mbak Nada, Pakde Yot, dan Bude Rin sedang berada disana sambil melihat karnaval malam takbir di jalan raya yang berkeliling Kota Yogyakarta. Sedangkan beberapa keluargaku  yang lain sedang berbincang-bincang di dalam hotel. “Kayaknya sepeda gowes itu nyewa di masjid sebelah hotel ini mbk” kata Mbak Dita pada Mbak Eki. “Iya tah dek. Ya coba ae tanya” tukas Mbak Eki. lalu aku,Mbak Dita, dan Mbak Eki berjalan menuju masjid sebelah hotel”. “Permisi pak, itu sepeda gowesnya nyewan di sini?” tanya Mbak Eki pada seorang bapak. “Iya nak, tapi sudah terpakai semua”  jawab bapak tersebut. “Umm, ya sudah pak terimakasih”. Kemudian kami membicarakan ini pada papaku, beliau menyarankan naik mobil saja. Lagipula mobil pakdeku atapnya bisa di buka, jadi kami bisa mengambil foto karnaval. Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling dan melihat karnaval malam takbir di Yogyakarta dengan mengendarai mobil. Namun, yang ikut hanya aku, Mbak Eki, Mbak Dita, Mas Adan, papa, dan mamaku. Keluarga yang lainnya ingin beristirahat saja di hotel.

Keadaan jalan raya di Kota Yogyakarta sangat padat oleh para pengikut karnaval. Kebanyakan yang mengikuti adalah sekolah islam Muhammadiyah. Kami sangat menikmati kemeriahan malam takbir ini. Melewati Jalan Malioboro yang sangat ramai. Suasana Kota Yogyakarta malam ini begitu menakjubkan, kami juga mengambil foto keadaan jalan raya Kota Yogyakarta yang ramai. “Meriah banget ya karnavalnya” ungkapku dengan senang. Keluargaku juga terlihat senang saat itu. Sudah cukup lama kami berkeliling Kota Yogyakarta dan akhirnya kami kembali ke hotel untuk beristirahat.

Pagi ini pukul enam kurang, kami sudah bersiap-siap  menuju alun-alun selatan untuk melaksanakan sholat Idul Fitri di masjid jamek Kota Yogyakarta. Tempat parkir mobil kami agak jauh dari alun-alun, maka kami harus berjalan kaki menuju lokasi sholat Idul Fitri. Di sana kami menggelar tikar untuk alas sajadah, kemudian sholat dilaksanakan sekitar pukul tujuh kurang. Setelah sholat Idul Fitri selesai, kami menuju parkiran dan pulang ke hotel. Di hotel kami melakukan tradisi keluarga yaitu sungkeman. Sungkeman dilakukan dari anggota keluarga yang paling tua ialah nenekku sampai yang termuda yaitu aku. Kami semua saling memohon maaf dan memaafkan satu sama lain. Air matapun ikut mengharukan suasana sungkeman. Setelah acara sungkeman, kami berfoto-foto untuk menghilagkan kesedihan.

“Oke setelah ini planning kemana?” tanya papaku pada kami semua. “Ke Gunung Kidul aja Om!” jawab mbak Eki. “Ada wisata apa Dek di sana?” papaku bertanya lagi. “Rafting Om, main air. Jadi, harus bawa baju ganti”. “Sip wes, ke Gunung Kidul ya?”. Semua setuju untuk  berwisata ke Gunung Kidul, Bantul. Kemudian kami menyiapkan pakaian yang perlu dibawa. Sebelum berangkat, kami sarapan terlebih dahulu di hotel. Pukul 11.35 , kamipun siap untuk berangkat menuju Gunung Kidul. Sekitar satu jam lamanya, kami sampai di tujuan. Kami segera memarkir mobil dan turun menuju tempat wisata. Pakde Bagus berjalan ke arah loket untuk membeli tiket wisata. Di sana tersedia berbagai wisata, kami memilih untuk Goa Pindul, yaitu memasuki Goa dengan menaiki ban, sebab goa tersebut berada di air yang dalam. Pakde Bagus membeli tiket untuk 8 orang, yaitu untuk aku, papaku, mamaku, Mas Adan, Mbak Eki, Mbak Dita, Pakde Agus, dan beliau sendiri. Bude Wuwuk dan Bude Lilis tidak ikut, karena harus menjaga nenekku yang tidak ikut juga.  Kemudian kami berganti pakaian, sesudah itu kami memakai pelampung agar tidak tenggelam di air yang cukup dalam. Lalu kami mengikuti bapak pemandu yang nantinya akan menjelaskan berbagai macam hal. Kami mengikutinya menuju lokasi Goa Pindul. Di sana kami diharuskan membawa ban untuk kami duduk di air. Ban itu cukup besar dan aku sedikit kerepotan untuk membawannya. Kami harus berjalan dengan membawa ban ke tempat masuk Goa Pindul. “Ah..berat” kataku mengeluh. “Dipegang itu dek talinnya, kayak gini loh” kata papaku. “Kuat gak dek?” tanya mamaku padaku. “Yah harus kuat, dikit lagi sampai” jawabku bersemangat. Sesampainya di tempat masuk Goa, kami menaiki ban satu persatu ke air. Lalu tangan kanan dan kiri memegang tali ban orang di sebelah kita. Kamipun sudah siap untuk memasuki goa. Yang paling depan ialah Pakde Bagus bersama bapak pemandu dan yang paling belakang ialah papaku. Ternyata di sana bukan hanya ada kami, namun banyak sekali para wisatawan yang datang juga. Suasana begitu ramai dan menyenangkan. Kami sudah memasuki ruang utama goa yang tidak begitu gelap, namun Bapak Pemandu menyalakan senter untuk menunjukkan batu-batu stalaktit di dalam goa. Selanjutnya kami memasuki ruang Gelap Abadi. Bapak pemandu menjelaskan tentang ruangan ini “Nah sekarang kita sudah berada di ruang Gelap Abadi di dalam goa. Mengapa disebut ruang Gelap Abadi? Sebab apabila senter ini saya matikan maka ruangan ini akan sangat gelap. Dan biasanya jika tidak ramai pengunjung seperti ini kita bisa berdoa dengan tenang. Namun karena banyak yang menyalakan senter dan ramai, kita tidak dapat melakukannya”. “Yahh..!” aku, Mbak Dita, dan Mbak Eki mengeluhkan hal tersebut. Kemudian kami meninggalkan ruangan itu. Di dalam Goa Pindul ini terdapat stalaktit yang meneteskan air dan kata bapak pemandu tetesan itu dapat menjadikan seseorang awet muda. Namun saat aku melewati stalaktit itu aku tidak ketetesan air, tapi aku tak menyesal. Lalu di Goa Pindul juga ada batu stalaktit yang apabila dipukul akan berbunyi seperti gong. Dan bapak pemandu membuktikannya dengan memukul satu kali batu tersebut dan menghasilkan suara dengungan gong yang keras. Sekitar 40 menit kami menyusuri Goa Pindul dan akhirnya keluar dari tempat tersebut. Petugas membolehkan pengunjung berenang di area luar Goa Pindul. Aku, Mas Adan, dan Mbak Eki langsung melompat dari ban dan “Byuurr...”.

Setelah itu kami masih belum puas dan melanjutkan untuk wisata Rafting. Pakde Bagus kemudian membeli teket rafting untuk 8 orang juga. Kami berangkat menuju area dengan mengendarai mobil pick-up oleh pemandu. Kami semua menuju lokasi dengan gembira. Kami melewati jalan yang makadam, sehingga kami harus berpegangan kuat pada besi yang dipasang di mobil pick-up  tersebut. Kami juga melewati kebun minyak kayu putih. Setelah itu sampailah kami di lokasi. Seperti biasa, kami harus membawa ban dengan berjalan kaki ke lokasi awal mulainya rafting. Bapak pemandu mengarahkan kita untuk menaiki ban, kemudian bapak pemandu mendorong kami satu persatu. Lokasi rafting hampir seperti sungai, hanya saja luas dan di sebelah kanan kiri tepi sungai terdapat tebing-tebing yang tinggi. Panjang sungai tersebut kurang lebih 3 kilometer. Di lokasi rafting tersebut arus air tidak begitu deras seperti pada saat hujan. Kedalaman sungai tersebut sekitar 4 meter hingga 15 meter. Di area rafting terdapat air terjun dan juga tempat yang sudah disediakan untuk melompat. Mbak Eki, Mas Adan, dan Pakde Agus mencoba untuk melompat dari ketinggan 3 meter. Sedangkan Aku hanya berenang-renang menunggu mereka melompat. Mbak Dita, papa, dan mamaku hanya menyaksikan mereka saja. Lalu Pakde Bagus merekamnya. Setelah itu, kami diarahkan melewati air terjun. Airnya mengenai kepala kami dan sedikit sakit. Kami menikmati suasan yang sejuk di sana sambil bergurau. Hampir satu jam lebih tak terasa kami rafting di sana.  Akhirnya kami sampai di ujung sungai dan harus kembali ke lokasi pembelian tiket dengan menggunakan mobil pick-up. Selanjutnya kami mandi terlebih dahulu. Kemudian kami kembali ke Yogyakarta pukul 16.20. Wisata Goa Pundul dan Rafting ini merupakan wisata air pertama kali yang pernah kami coba, sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

by: Z.A.R

0 comments:

Posting Komentar