Pertempuran
Laut Aru
Markas
Besar Angkatan Laut awal Januari 1962. Wajah Menteri/Panglima Angkatan Laut
Laksamana Raden Eddy Martadinata nampak agak kurang cerah, ketika pulang dari
rapat Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang baru saja diikutinya di
Istana Negara. Pada siang itu, selesai menghadiri rapat di Istana, Martadinata
langsung mengumpulkan seluruh anggota Staf Operasi MBAL. Dengan kalimat jernih,
kepada semua stafnya, dia mengungkapkan hasil rapat di Istana. "Presiden
atau Panglima Tertinggi baru saja memerintahkan untuk segera dilakukan
infiltrasi, mendaratkan pasukan untuk masuk ke wilayah Irian Barat."
Menurut Martadinata, sambil menunggu perintah Bung Karno, infiltrasi tersebut
akan dilakukan oleh satu kompi pasukan angkatan darat, terdiri dari para putera
daerah asal Irian. Pasukan yang bakal dikategorikan sebagai sukarelawan
termasuk sebelumnya sudah melakukan latihan militer dengan cukup intensif.
Sesuai perintah Panglima Tertinggi, infiltrasi akan dilakukan melalui laut,
tanggal 15 Januari pukul 24.00, dengan sasaran wilayah di arah Selatan Kaimana,
di sekitar Vlakke Hoek. Dengan cepat melirik Sudomo, Martadinata langsung
menambahkan, "Siapkan material dan personil untuk menunjang Operasi
tersebut", Letnan Kolonel Sudomo, Kepala Direktorat Operasi dan Latihan
MBAL, segara menjawab dengan singkat, "Siap Pak, kami laksanakan."
Pada saat
itu Sudomo merasa yakin, rapat yang baru saja diikuti oleh Men/Pangal,
merupakan salah satu bentuk penjabaran dalam pelaksanaan Trikora. Terutama,
sesudah dia juga menyadari, pada tanggal 2 Januari 1962, lewat Surat keputusan
Presiden No. I tahun 1962, Bung Karno telah menunjuk Mayor Jenderal Soeharto
untuk memegang Jabatan Panglima Komando Mandala. Sesudah
menerima perintah dari Men/Pangal untuk mempersiapkan perintah operasi, Letkol
Sudomo kemudian menyelenggarakan rapat staf. Dalam rapat tersebut dibahas
berbagai macam alternatif. Menurut kajian, kapal selam merupakan sarana
angkutan infiltran yang paling ideal dan tidak banyak menghadapi resiko. Bagaimanapun
juga, Sudomo segara menyusun gugus tugas dengan mengandalkan dukungan dari
keempat KCT eks Jerman Barat tersebut. Masing-masing RI Matjan Tutul dengan
komandan Kapten Wiranto, RI Matjan Kumbang dipimpin Kapten Sidhoparomo, dan Rl
Harimau dengan komandan Kapten Samuel Muda dan satu lagi RI Singa. Satuan ini
diberi nama Satuan Tugas Chusus IX (STC-9). Tetapi sesudah satuan tugas ini
terbentuk, langsung muncul persoalan baru, siapa yang harus ditunjuk menjadi
komandan "Hari itu pula saya kumpulkan semua perwira dengan pangkat Letnan
kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan MBAL. Pokoknya, semua perwira
yang pangkatnya lebih tinggi dari para komandan KCT. Saya beberkan rencana
operasi, mengangkut pasukan untuk di daratkan di Irian dan langsung harus bisa
kembali secepatnya ke Jakarta. Saya tawarkan posisi tersebut, "Siapa yang
secara sukarela bersedia menjabat komandan satgas?," beber Sudomo. Menurut
Sudomo, tak tampak satu pun perwira di ruangan yang berani angkat tangan. Ia
menarik kesimpulan, tidak ada perwira yang punya keberanian untuk memimpin
satgas tersebut. Secara pribadi ia merasa operasi laut semacam itu sangat
berbahaya dan sulit dipertanggung jawabkan, karena tidak memenuhi semua
ketentuan sebagaimana dipersyaratkan layaknya suatu operasi militer. Merancang
suatu operasi militer yang sama sekali tidak ditunjang dengan persyaratan
minimal. Bagaimanapun juga, perintah adalah perintah, apalagi kali ini
datangnya dari Panglima Tertinggi. Rapat segera dibubarkan dan Sudomo
langsung melaporkan hasilnya kepada Deputi I Angkatan Laut, Komodor Yosaphat
Soedarso, rekan satu kelas semasa mengikuti pendidikan Sarangan.
”Lapor,
karena tidak ada perwira yang berminat untuk menjabat Komandan Satgas KCT,
mohon izin, saya sendiri memimpin satgas ini," kata Sudumo tegar. Jawaban
langsung diberikan Yos Soedarso, "Kalau kau berangkat, saya juga akan ikut
berangkat...". Terus terang mendengar jawaban spontan semacam itu, hati
Sudomo justru semakin bingung. Pada waktu itu, Yos Soedarso adalah pejabat
penting. Kemungkinan berhasil dalam
perhitungan Sudomo memang masih terbuka. Tetapi, tingkat kerawanannya sangat
tinggi. Sehingga misalnya sampai terjadi sesuatu kepada orang nomor dua dalam
jajaranan ALRI tersebut, pasti akan menyeret dampak politis teramat besar.
Mungkin tak bakal sebanding dengan keterlibatan seorang Deputi Operasi. Maka
dengan nada halus Sudomo berusaha mencegah agar Komodor Yos Soedarso tidak usah
ikut dalam pelaksanaan operasi rahasia ini. Tetapi usahanya sia-sia. Yos masih
tetap saja memaksa. Terutama setelah dia sempat mendengar, Kolonel Moersjid,
Asisten Operasi KSAD, juga bakal ikut. Dalam operasi infiltrasi ini, Menurut
Moersjid, rangkaian infiltrasi yang dikelola Angkatan Darat dengan
menyelundupkan pasukan ke daerah musuh, sudah beberapa kali dilakukan. Perwira
penanggung jawab program infiltrasi berada pada Kolonel Magenda, asisten
intelijen KSAD, dengan perwira pelaksana Letnan Kolonel Roejito.
Tanggal 9
Januari 1962 malam, dengan berlindung di balik kegelapan, satu demi satu empat
MTB tersebut segera menyelinap keluar, meninggalkan pangkalannya di Tanjung
Priok, Jakarta. Dengan gagah, Sudomo yang ketika itu baru saja dinaikkan
pangkatnya menjadi Kolonel, selaku Komandan STC IX, berdiri di anjungan RI Harimau,
Pikirannya jauh melayang ke depan, membayangkan 2.000 mil laut rute pelayaran
yang harus ditempuhnya. Ke empat kapal STC IX ini sejak awal memang
dirancang untuk bergerak secara rahasia. Mereka menangani tugas infiltrasi,
dengan demikian semakin banyak orang tak tahu, semakin menguntungkan bagi misi
yang sedang mereka laksanakan. Sementara itu, satu kompi pasukan putra daerah
yang sudah dilatih, diberangkatkan pada tanggal 14 Januari dengan kapal terbang
Herkules AURI, langsung dari Landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ikut
serta dalam pesawat yang sama Komodor Yos Soedarso, Kolonel Moersjid dan Letnan
Kolonel Roedjito. Selama
pelayaran menuju daerah sasaran, ke empat MTB berada pada kondisi Total
Black Out dan Radio Silence, mereka sama sekali tidak boleh menggunakan
hubungan radio, di samping itu seluruh lampu kapal dipadamkan serta sejauh
mungkin menghindari pertemuan dengan kapal-kapal niaga. Pelayaran SCT IX dengan
gerak melambung, menyusuri lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya
membelok ke arah timur laut ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi
perairan Maluku, Sudomo juga menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV)
antara Jakarta sampai ke Maluku. Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa
ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi
tambahan bahan bakar. Selama pelayaran, musibah menimpa dua kapal, RI Matjan
Kumbang. mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga.
Sementara itu RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan
bakar di tengah jalan. Dengan demikian akhirnya, meskipun tidak bersamaan,
hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir, merapat ke Rl Multatuli
untuk menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran. "Kami
mendarat dengari cara nekat" kata Kolonel Moersjid. Ia merasa para
penerbang Herkules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam
situasi serba darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di
Jakarta, kami telah menerima penjelasan, landasan darurat di Pulau Langgur
sudah selesai diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Herkules dengan
nyaman. Tetapi setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting,
ketika keluar dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi
manusia.".
Menjelang
sore hari, tanggal 15 Januari, di atas RI Multatuli, Sudomo Komandan STC IX,
memberikan briefing tentang rencana operasi. Hadir lengkap ketiga komandan KCT.
Kecuali itu juga ikut briefing Deputi Operasi KSAL Komodor Yos Soedarso,
Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid dan Letnan Kolonel Roedjito. Ketika
menguraikan rencana operasi, Sudomo menatapkan mereka akan berangkat
meninggalkan RV ke tiga ini tepat pada pukul 24.00 tengah malam. Sudomo
masih tetap berupaya agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya
ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran.
Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan
dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Irian dengan memakai
perahu karet. Atas pertimbangan tersebut, maka Sudomo kemudian menempatkan Yos
Soedarso di Rl Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan
Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Sudomo tahu, keinginan
Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi
perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah
Putih di bumi Irian. “Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa
ditancapkan di Irian. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah
Irian untuk di serahkan kepada Bung Karno."
Dengan
haluan 000 derajat dan formasi 18, ketiga MTB tersebut dengan serentak
meninggalkan RI Multatuli. Setiap kapal membawa 30 anak buah kapal dan sekitar
40 infiltran, putra daerah yang akan didaratkan di Irian untuk memulai perang
gerilya. Para infiltran beristirahat di geladak, di sela-sela perahu karet.
Inilah alasan utama mengapa Sudomo lebih dulu menerbangkan mereka ke dekat
perbatasan dengan pesawat udara, tidak ikut berlayar dengan MTB. Karena secara
teknis memang tidak mungkin, kapal-kapal torpedo tersebut mengangkut pasukan
sebanyak itu, berlayar sejauh 2.000 mil laut. Sudomo menengok
ke belakang. Nampak matahari mulai tenggelam di batas cakrawala, sehingga pemandangan
sekeliling semakin lama semakin suram. Dari geladak RI Multatuli, yang terlihat
hanya bayangan tiga kapal melaju dengan cepat, seakan-akan timbul tenggelam di
antara gelombang laut Arafuru. "Laut sekeliling kami hitam pekat, malam
itu bulan tak muncul di langit, mata kami semua memandang tajam ke arah
radar," kata Sidhoparomo, Komandan RI Matjan Kumbang. Sewaktu Jam
menunjukkan pukul 19.30, Sudomo lewat radio walkytalky mengarahkan haluan
konvoi untuk menuju 059 derajat. Inilah arah paling singkat untuk mencapai
Vlakke Hoek, daerah tujuan yang terletak di pantai sebelah timur Sungai.
Iring-iringan ke tiga MTB di Laut Arafuru ini agaknya tidak merasa, bahwa sejak
pukul 20.25, mereka sebenarnya telah terdeteksi dari udara oleh Letnan H.
Muckar Danoe, yang sedang berpatroli dengan pesawat Neptune. "Jarak
pada saat itu lebih kurang sekitar 60 mil dari Vlakke Hoek," kata Mockar
Danoe, keturunan Indonesia yang menjadi warga negara Belanda dan masuk dalam
dinas militer Koninklijke Marine (KM), Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dengan
tangkas mereka langsung mengirim tanda bahaya dini kepada Hr. Ms. Evertsen, Hr.
Ms. Kontenaer dan Hr. Ms. Utrecht yang juga sedang berpatroli di perairan
setempat. Pukul 21.45 pesawat Neptune tersebut mulai mengambil posisi siap menyerang.
Untuk menerangi sasaran, mereka lebih dulu menembakkan flare (roket suar). Sayang
sekali flare tesebut tidak menyala, sehingga roket juga tidak jadi di
tembakkan. Pada saat itulah RI Matjan Kumbang sebagai kapal jaga melaporkan
kepada Rl Harimau yang berada paling depan, mengenai adanya sebuah pesawat
terbang yang melintas di atas konvoi. "Saya segera mengambil teropong,
saya telusuri cakrawala sesuai informasi dari Matjan Kumbang. Memang benar
mulai terlihat siluet kapal perang Belanda di arah lambung kanan dan satu lagi
di lambung kiri, Dengan gampang bisa kita kenali jenisnya, yang di lambung
kanan adalah sebuah fregat dan sebuah kapal perusak (destroyer) kelas Holland,
melihat cerobong muka yang bagian atasnya ada lekuk ke belakang. Dan di lambung
kiri ada satu fregat lagi," kata Sudomo.
Terlihatnya
tiga kapal musuh tersebut langsung diinformasikannya kepada Moersjid, yang
berada di RI Harimau. Mereka kemudian tahu, kapal tersebut masing-masing adalah
Hr. Ms. Evertsen, Hr. Ms. Kontenaer dan kapal ketiga Hr. Ms. Utrecht,
“Saya berkesimpulan, keberadaan kapal kita telah diketahui oleh musuh. Misi ini
tak bisa dilanjutkan, harus dibatalkan. Tak pernah ada perintah operasi untuk
menyerang Belanda, apalagi karena kita tidak punya senjata utama torpedo".
Pukul 21.50 Sudomo memerintahkan ketiga MTB putar haluan menuju arah 239
derajat dan menghindar secepat-cepatnya, untuk bisa kembali ke pangkalan.
Nyaris secara serentak, ketiga kapal tersebut cikar kanan, menuju haluan 239
derajat. RI Harimau dengan kecepatan tinggi melampaui lambung kiri Matjan
Kumbang, merubah haluan ke 239 derajat. Tetapi sementara itu, dengan
mengejutkan, Matjan Tutul Justru memakai kekuatan penuh, lewat sebelah
kanan Matjan Kumbang dan malahan langsung mengambil haluan 329 derajat. Haluan
ini justru mengarah ke posisi Hr. Ms. Evertsen. "Saya juga segera
memerintahkan, kapal untuk langsung cikar kanan, sesuai perintah komandan STC
IX, tetapi mendadak kemudi macet. Akibatnya kapal tak bisa ke depan, tetapi
langsung berputar membuat lingkaran besar. Dalam situasi kritis ini, saya
sangat terkejut, ketika justru disalip oleh Matjan Tutul”, dengan cepat kata
Sidhoparomo. Serangan yang kedua oleh Neptune di ulang pada pukul 22.02. Tembakan
peluru suar menerangi seluruh cakrawala, dilanjutkan dengan tembakan roket
mengarah ke formasi STC IX, tetapi tidak ada yang mengenai sasaran. Tiga menit
kemudian, begitu melihat bayangan pesawat terbang di atas formasi "Saya
langsung perintah tembakan ke sasaran" kata Sidhopramono. Kedua meriam
penangkis serangan udara 40 mm dan kedua senapan mesin 12,7 mm menyalak
serentak.
Pada pukul 22.07 Hr.
Ms. Evertsen pertama kali memuntahkan peluru Meriam 12 cm kepada Matjan Tutul
karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan 329 derajat yang
mengarah kepadanya. Pukul 22.08 terdengar lewat radio, perintah legendaris dari
Komodor Yos Soedarso, "KOBARKAN SEMANGAT PERTEMPURAN". Serentak
dengan itu, tembakan dari kedua senjata 40 mm Matjan Tutul di arahkan langsung
ke Hr. Ms. Evertsen. Tembakan yang memang sia-sia, karena letak sasaran berada
jauh di luar jangkauan. Nampaknya pada saat itu, Yos Soedarso sudah mengambil
alih pimpinan Matjan Tutul dari tangan Kapten Wiratno. Pukul 22.10, sebuah
tembakan Evertsen tepat mengenai buritan Matjan Tutul. Terjadi kebakaran kecil
yang segera berhasil dipadamkan. Saat itu Matjan Tutul berganti haluan ke kiri,
mengarah 239 derajat. Melihat manuver tersebut, Evertsen juga putar haluan ke
kanan, ke haluan sejajar 239 derajat sambil terus menghujani Matjan Tutul
dengan tembakan Meriam 12 cm. Pukul 22.30, tembakan tepat kedua dari Evertsen
mengenai bagian tengah Matjan Tutul. Kapal terlihat meledak, penumpangnya
berhamburan di antara kobaran api yang sangat besar. Bunga api besar menerangi malam di Laut Aru.
Perlahan RI Matjan Tutul tenggelam membawa Komodor Yos Sudarso, Kapten Memet
(Ajudan), Kapten Kapal Wiratno dan 25 prajurit TNI AD. Sepuluh menit
kemudian, Evertsen melanjutkan pengejaran dan terus menghujani RI Harimau
dengan siraman tembakan selama satu jam.
0 comments:
Posting Komentar