(sumber gambar: wikipedia)
Jung Jawa adalah sebutan untuk kapal perang
dan niaga yang pernah ada di Nusantara sekitar abad ke-8 hingga abad ke-17.
Pada zamannya, kapal kayu ini cukup terkenal di kalangan para pelaut dunia
sebagai kapal besar yang menguasai jalur perdagangan Asia, khususnya di Selat
Malaka. Banyak kesaksian para penjelajah samudera internasional mengenai kapal
ini.
Jung Jawa mempunyai kemiripan dengan kapal
Borobudur, yang juga ada di Nusantara hingga abad ke-13, menilik kesamaan
teknik konstruksi yang dimiliki kedua jenis kapal tersebut, yakni seluruh badan
kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Hal tersebut berbeda dengan jung-jung
dari China, yang lambungnya direkatkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi.
Sejumlah kalangan memang menduga jung Jawa mendapat pengaruh dari jung China,
mengingat bahwa negeri Tirai Bambu tersebut telah dikenal sebagai pembuat kapal
sejak 500 tahun sebelum Masehi.
Namun demikian, sejumlah sejarawan juga
menyebutkan bahwa, meskipun China terkenal sebagai pembuat kapal, namun hingga
abad ke-7 kecil sekali peran kapal-kapal China dalam pelayaran laut lepas.
Bahkan dalam catatan perjalanan keagamaannya, I-Tsing (671-695 M) disebutkan,
dia berlayar dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan, dengan
menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas
pelayaran di ”Laut Selatan”.
Diego de Counto, pelaut Portugis yang
menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16, dalam bukunya, Da Asia
(1645), menyebutkan bahwa bangsa Jawa telah melakukan pelayaran samudera,
bahkan hingga mencapai Tanjung Harapan di tanah Afrika. Pasalnya, di sana ia
menjumpai para penduduk berkulit cokelat yang mengaku keturunan Jawa. Counto
juga menyebut bahwa orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi.
Selain Counto, pelaut Portugis lainnya,
Alfonso de Albuquerque, yang merupakan komandan armada Portugis ketika
menduduki Malaka pada 1511, menerangkan bahwa orang Portugis mengenali tanah
Jawa sebagai asal-usul dari kapal-kapal besar yang disebut jung itu, yang
sempat digunakan kerajaan Demak untuk menyerang armada mereka.
Etimologi
Sejumlah pendapat menyebutkan, istilah “jung”
berasal dari kata “chuan” dari bahasa mandarin, yang berarti perahu.
Hanya saja, perubahan pengucapan dari "chuan menjadi jung
nampaknya terlalu jauh. Sementara Anthony Reid dalam bukunya Sejarah Modern
Awa Asia Tenggara, menyebutkan, istilah jung dipakai pertama kali
dalam catatan-catatan Rahib Odorico, John de Marignolli dan Ibn Battuta pada
abad ke 14. Asal-usul kata jung, menurut sumber-sumber yang ia kaji,
berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sebutan untuk kapal. Hal ini misalnya
dapat ditelusuri dalam sebuah prasasti Jawa kuno abad ke 9.
Konstruksi
Konstruksi jung Jawa dibangun dari
papan-papan yang disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut,
atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini
dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk
segi empat. Orang Portugis menerangkan bahwa jung Jawa memiliki empat tiang
layar, terbuat dari papan berlapis empat, serta mampu menahan tembakan meriam
kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal
perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton,
yang digunakan sebagai pengangkut pasukan kerajaan Jawa itu untuk menyerang
armada Portugis di Malaka pada 1513.
Sayangnya, sejarah jung Jawa tidak lebih
dari abad ke-17. Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi maritim
Nusantara hancur akibat ekspansi militer dan perniagaan Belanda. Sikap represif
Sultan Agung dari Martaram terhadap kota-kota di pesisir Jawa juga
menyumbangkan andil atas kemunduran dunia maritim tanah air. Kantor Maskapai
Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan, pada 1677, orang-orang
Mataram di Jawa Tengah sudah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Sumber:
http://kebudayaanindonesia.net
0 comments:
Posting Komentar